Namanya
Ikiw, biasa dipanggil orang sekitanya begitu. Nama sebenarnya panjang, hingga
harus di singkat pada kolom isian nama pas ujian nasional, adalah Muhammad
Rizky Fadhilla. Perawakan kisaran 158 hingga 160 centimeter. Dipanggil ke dunia
pada 12 Maret, dua puluh tahun yang lalu di bumi melayu, Pekanbaru. Punya kulit
coklat bak buah sawo setengah matang, dan agak pucat, tapi bukan lagi sakit
tipes. Abu-Abu? Bisa jadi.
Anak
pertama dari tiga orang bersaudara. Adiknya yang kedua tengah berkuliah di kota
hujan Bogor di salahsatu kampus ternama, IPB. Dan adiknya yang paling kecil
dimasukkan orang tuanya di sekolah pesantren di daerah Banten. Alasan mengapa
masuk IPB karena adik keduanya memang pintar, dan alasan adik terkecilnya masuk
pesantren, untuk tetap menjaga hafalan Quran nya saat ia masih di sekolah
dasar. Sedangkan ia, Rizky, kamu dimana? Masih tetap di Pakanbaru.
“Mereka
keluar daerah semua mengapa abangnya masih disini?”
“karena saya cinta Pekanbaru”, jawab rizky
dengan wajah agak meledek.
Berdarah
minang dari Ibunya, dan Jawa dari Ayahnya. Sejak dulu Rizky kecil paling dekat
dengan embahnya dikarenakan orangtuanya dulu ketika bekerja selalu menitipkan
ia di embahnya. Sebelum memutuskan berpindah tempat tinggal di kualu, panam,
Rizky dan orang tuanya berada di Sukajadi. Plot dan twist nya, tempat
tinggalnya yang dipanam sekarang dengan kampusnya yang sekarang.
Waktu
kecil ia adalah anak manusia yang sering sakit-sakitan. Itu terjadi saat ia balita.
ada saja penyakit yang ia alami. Sempat ia mengalami step (kejang demam)
sebanyak tigakali. Mitosnya jika anak mengalami kejang demam atau step lebih
dari tiga kali, otaknya akan terganggu dan menjadi bodoh. “Hampir saja..”.
Beberapa kali juga ia merasakan bagaimana
ritual pengobatan tradisional dulu yang ia alami. Seperti mandi kembang tujuh
rupa tengah malam. Tidak tau apa manfaatnya selain mengharumkan badan. Yang
pasti kesehatan. Begitu informasi yang ia dapat dari embahnya. Jika dilihat
bukan mirip pengobatan. Malah mirip
pesugihan dengan anak kecil sebagai tumbalnya. Entah lah.
Ia
seorang mahasiswa jurusan Ilmu komunikasi, yang berlatar belakang –kan sekolah
menengah kejuruan teknik komputer jaringan. Sudah ahli di bidangnya pada saat
SMK, malah keluar jalur jurusan saat kuliahnya. Katanya mau tidak mau, cari
aman ketika ia dinyatakan lulus di kampus Uin Suska saat SBMPTN. “Jika tidak
kuliah memang mau ngapain lagi? Gak punya kebun untuk dibersihin. Gak punya
sawah untuk di bajak. Gak punya kebun sawit untuk di dodos, dan gak punya kebun
karet untuk di deres.” Kata ibunya.
Dengan
alasan itulah dia memutuskan mencintai jurusan yang ia geluti sekarang. Yaitu
jurnalistik. Sebenarnya ada alasan lainnya, yaitu menghindari uang kuliah yang
mahal. Jika tidak masuk di universitas negeri, dan masuk di universitas swasta,
tidak bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang dikeluarkan untuk berkuliah.
Tiga juta limaratus ribu lah uang per semester yang dibayarkan orang tuanya
saat ini.
Rizky
di kampus dikenal bersahabat. Memang awalnya banyak yang menilai ia adalah
orang yang cuek, tetapi sebenarnya tidak begitu. Mungkin karna ia tidak mau
banyak omong tentang suatu hal, dan lebih memilih cerita hanya kepada beberapa
temannya saja. Hampir tidak ada pernah terdengar masalah terhadap
perkuliahannya selama ini. “Kuliah ini hanya mengalir mengikuti arus tetapi
tidak pasrah.” Ujarnya dengan nada percaya diri sambil meminum minuman teh
thailand.
Bukannya
hampir tanpa celah, nilai yang keluar dari KRS rizky yang bisa di bilang aman
dalam perkuliahan ini pun tak luput dari nilai C. Hal itu terjadi saat ia duduk
di semester 2. Pada saat itu matakuliah pengantar jurnalistik.
“Entah
apa yang terjadi pada ibu dosen tersebut sehingga memberikan kami nilai C. Iya
kami, hampir satu kelas yang mendapatkan C. Mungkin pas ngisi nilai ibu dosen kurang
vitamin C dan kurang konsentrasi ngisi nilainya, ya di isi C aja. Terimakasih
bu, berkatmu saya gak bisa jadi cumlaude.” ujar Rizky kesal.
Hanya
itu permasalahan nilai yang dialami Rizky saat kuliah. Sisanya ia menyelesaikan
perkuliahan dengan baik. Kegiatannya yang stagnan membuatnya melakukan hal-hal
yang itu-itu saja. Dari rumah ke kampus untuk kuliah, setelah selesai kuliah ia
langsung pulang kerumah, begitu terus hingga bisa di bilang ia adalah sosok
mahasiswa yang mampu mewakili tipikal dari mahasiswa kupu-kupu. Tetapi rizky,
mengindahkan julukan tersebut. Menurut nya, tidak masalah seorang mahasiswa
begitu. Ia berhak mengatur siklus kehidupannya. Itu hak.
Karena
ia kerap rumah-kampus kampus-rumah mungkin jika di telusuri jejak nya pada saat
itu di google maps, akan tampak seperti pola dari rute yang ia tempuh. Itu
adalah rute yang mempunyai intensitas tinggi, bila jejak-jejak kakinya
meninggalkan noda pada pencitraan bili kita lihat itu dari satelit NASA di luar
angkasa sana.
Rizky
bukannya mahasiswa yang tidak pernah mencoba organisasi internal yang ada di
dalam kampus. Ia pernah ingin masuk pada lembaga pers di kampus, sudah
mendaftar, tetapi tidak jadi. Ia juga pernah begabung di salahsatu media
pertelevisian di kampus. Tetapi ia keluar karna menurutnya merepotkan, dan
merasa perkuliahannya terganggu.
Menurutnya
menjadi mahasiswa seperti itu menghemat waktu. Jika selesai pada perkuliahan ia
bisa beristirahat dirumah atau sekedar berkumpul dengan teman hanya untuk
menghilangkan rasa capek otak akibat dari kerasnya gencaran mata kuliah yang
diberikan dosen pada mahasiswa.
Munurutnya
urusan rugi karena tidak mengikuti kegiatan internal kampus itu menjadi
persoalan personal. Tidak mengikuti kegiatan kampus bukannya menghilangkan
kegiatan membangun relasi. Dan juga tidak semua kegiatan di kampus, setiap
harinya bermanfaat dan memunculkan benefit yang lebih terhadap
anggota-anggotanya. Toh ini persoalan pribadi, ujarnya.
Ada
juga yang mengatakan mahasiswa kupu-kupu sering dibilang kuliah hanya untuk
absen. Stigma itupun melekat pada sorang Rizky. Tapi menurutnya tidak masalah,
menurutnya itu masih mending, pergi kuliah hanya untuk absen, daripada
mahasiswa yang kuliah absennya terisi tetapi orangnya tidak ada. Kaya tuyul,
mahasiswa tuyul?
Dengan
menjadi mahasiswa kupu-kupu ia dapat fokus belajar, tidak terganggu denga apapun. Tugas dari organisasi? Sepertinya itu
memberatkan bagi sebahagian mahasiswa. Terlebih untuk orang yang tidak mau
ribet seperti Rizky ini.
Mahasiswa
kupu-kupu juga menghemat biaya atas hidup dengan perkuliahan. Banyangkan harus
bolak balik kesana kemari untuk melaksanakan kegiatan organisasi. Belum lagi
biaya yang di keluarkan, pasti ada biaya saat mengikuti kegiatan organisasi.
Baik itu yang dikeluarkan untuk dirisendiri ataupun hal lain.
Walaupun
kebiasaan rizky sepulang perkuliahan hanya itu-itu saja, tetepi ia cukup
menikmati apa yang dilakukannya. Setelah pulang perkuliahann ia biasanya hanya
bermain game, menonton televisi atau sekedar mendengarkan lagu. Menurutnya itu
lebih baik ketimbang harus berfikir lagi dalam keadaan di dalam suasana
organisasi yang pastinya ribet.
Berargumen
bahwa mahasiwsa kupu-kupu itu adalah hal yang benar juga sepenuhnya salah.
Orang-orang berbda dalam mendapatkan pengalaman dalam hidupnya. Begitu pula
mahasiswa. Rizky tipikal orang yang begitu, tidak bisa kita samakan denga orang
lain yang kerap mondar mandir kampus karena kegiatan organisasi kampus atau
menjadi babu di dalamnya. Ups.
Ia,
Rizky, menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa kupu-kupu bukan berarti fungsi
sosialnya tidak berlaku dalam kehidupan sosial, karena ia mempunyai pemikiran
bahwa dalam perkuliahan haruslah sungguh-sunggu dalam menuntut ilmunya, dan
ketika lulus harus bisa mempertanggung jawabkan ilmunya yang ia dapat selama di
perkuliahan.
Selama
ini Rizky bisa dibilang menjalani perkuliahant tanpa ada satupun kesan yang
wah. Tidak seperti orang-orang yang mempunyai banyak lika-liku dalam
perkuliahannya karena beberapa hal. Menurut Rizky perkuliahannya bukannya tidak
ada likaliku, hanya satu dua pengkolan saja yang ia temui semasa berkuliah.
Sisanya hanya jalan lurus yang ia nikmati. Menurutnya lagi, satu-satunya yang
belikaliku hanyalah jalan ia pergi dari rumah ke kampus dan pulang dari kampus
ke rumah. Cuma itu. Wow.
Tidak
seperti orang perantauan, mungkin mendapat banyak cobaan, dari mulai uang
bulanan yang habis dan tak kunjung di kasih oleh orang tua di kampung, sehingga
mengganti makan malam dengan seteguk air putih dan obat sakit kepala. Hingga
permasalahan homesick karena tahun ini tidak pulang ke kampung.
Karena
itu tadi, rumah yang dekat dan pembawaan Rizky dalam hidupnya yang easygoing,
menjadikannya ia terlihat lebih menikmati sisa masa hidupnya ketimbang harus
mencari masalah yang sebenarnya mudah sekali di cari.
Sekian
dari tulisan saya, sulit sekali menemukan lika-liku dalam perkuliahan di diri
Rizky ini. Otak saya harus bekerja dua kali lebih ekstra untuk memikirkan apa
saja lika liku nya tanpa harus mengarang cerita bohong. Terlebih sekarang
liburan, bagaimana bisa membuat tugas di saat liburan tanpa kendala dengan
hal-hal lain. Semua ini demi memenuhi tugas ku. Tugas feature yang tercinta.